Ahok: Jakarta tidak banjir, karena ada Dana Puluhan Miliaran saat Banjir
TS
titisan.sukarno
Ahok: Jakarta tidak banjir, karena ada Dana Puluhan Miliaran saat Banjir
Ahok: Jakarta tidak banjir, Ada oknum tidak senang karena ada Dana Puluhan Miliaran saat Banjir
Sory judul di ganti karna kepanjangan sebab ini situs hatree.net
Hatree.net - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyebut penanganan banjir di Jakarta semakin baik. Hal itu yang membuat ia menuding ada sabotase jika Jakarta terendam banjir.
"Saya enggak tahu ini sabotase atau mainan pak ogah. Kayak tahun lalu pas Jakarta banjir, langsung minta saya keluarkan Jakarta siaga banjir, enggak mau saya," kata Basuki saat menyampaikan sambutan dalam peresmian Taman Jagakarsa di Jakarta Selatan, Selasa (9/2/2016).
Saat itu, ia didesak mengeluarkan status siaga darurat karena lingkungan istana sudah terendam banjir. Basuki menyebutkan, penerbitan status siaga darurat ini menyebabkan pemerintah pusat menghabiskan anggaran hingga Rp 50 miliar.
"Biarinlah, Pak Jokowi enggak ada di istana ini, lagi ke luar negeri. Biarin saja banyak yang enggak senang sama saya," kata Basuki
Kemudian, lanjut dia, DKI Jakarta juga diprediksi terendam banjir besar pada hari raya Imlek. Namun, pada Imlek, Jakarta tidak terendam banjir.
Tetapi, kemudian DKI Jakarta kembali diprediksi banjir pada pekan kedua dan keempat Februari.
Basuki mengatakan, lurah serta pekerja penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) sudah bekerja dengan baik untuk mengantisipasi banjir.
"Saya perhatiin, ini orang-orang kurang senang kalau Jakarta enggak banjir. Kayaknya enggak pantas kalau Jakarta enggak banjir. Ini aneh banget, iri amat sama Jakarta kalau enggak banjir," kata Basuki.
Basuki mengatakan, Jakarta pasti terendam banjir jika pompa dan listrik padam. Kemudian, tembok tinggi di pantai utara Jakarta juga belum dibangun.
Dengan demikian, ia memastikan bahwa Cilincing dan Tanjung Priok masih terendam banjir jika terjadi air laut pasang. 1
Hanya ada 16 Titik Banjir kecil di Jakarta Hari ini
Hujan deras yang melandaJakarta pada Selasa (9/2/2016), menimbulkan sedikitnya 16 titik genangan air dengan ketinggian sekitar 10 cm - 30 cm.
Seperti dikutip dari Pusdalops BPBD DKI Jakarta, bahwa antara pukul 13.32 WIB hingga 16.46 WIB terdapat 16 titik genangan air di Ibu Kota Jakarta.
Sebanyak 16 lokasi genangan tersebut antara lain, terjadi di Jl. Mangga Besar Raya, Jakpus. Genangan 10 cm terjadi lantaran tidak ada saluran air.
Kemudian, di Jl. Jati Padang Raya, Gang Menara, Rw. 04/03, Kel. Jati Padang, Genangan 40 cm. Lalu di Jl. Kembang Kerep arah Meruya, depan Pospol, Genangan 10 cm.
Selain itu, di Jl. Kalibata Raya, RW. 05, RT. 012, Kel. Kalibata, Genangan 30 cm. Genangan di Jl. Fatmawati depan ITC, Kec. Kebayoran Baru, Genangan 10 cm.
Kemudian, di Jl. Prapanca raya No. 5, Kel. Pulo, Kec. Kebayoran baru, Genangan 30 cm. Lalu di Jl. Kemang Raya, No. 6, Genangan 30 cm.
Selain itu, di jl. Moch kafi I, Gang Sadar 4, Kel. Ciganjur, genangan 20 cm. Genangan juga terdapat di Jl. Wijaya I, RW. 02 dan RW. 03, Kel. Petogogan, Genangan 30 cm.
Lalu, di Jl. Pinang Kalijati Pondok Labu. Genangan 20 - 50 cm. Nangan di Jl. Gotong Royong depan Deza Matic Shop, Kel. Gandaria Utara, Genangan 10 cm.
Kemudian, di Jl. Jagakarsa 1, Rw. 05, Rt.012, Genangan 10 cm. Lalu, Jl. Pondok Bambu dekat Inspeksi Kali Malang, kel. Pondok Bambu, genangan 10 cm.
Genangan air di Jl. Dr. Muwardi I, Grogol Petamburan, genangan 10 cm. Kemudian, terjadi juga di jalan Semangka 2, depan Puskesmas Jati Pulo, Palmerah, Genangan 10 cm.
Genangan juga terjadi di Kel. Cipete Utara, Rw. 06, Rt. 03, Genangan 10 - 50 cm, akibat luapan dari kali Jaksel. 2
Spoiler for sejarah banjir hatrre.net:
Sejarah banjir Jakarta sejak jaman Belanda
Disergap banjir saat musim hujan untuk warga Jakarta saat ini sudah tak lagi menjadi cerita legenda yang aneh. Masyarakat yang tinggal di permukiman berstatus sosial kalangan atas hingga bawah bisa jadi telah mencicipi rasanya terkena ataupun terendam banjir.
Salah satu banjir yang tercatat nyaris melumpuhkan ibukota Indonesia itu terjadi pada Januari 2013. Kala itu, air dari Pintu Air Manggarai yang biasanya dilarikan ke Kanal Banjir Barat tumpah hingga Bundaran Hotel Indonesia, setelah menjebol tanggul di Latuharhary.
Sedang sebelumnya, beberapa kali banjir juga kerap merendam Jakarta. Dalam buku berjudul 'Batavia Kota Banjir' yang ditulis oleh Alwi Shahab, tercatat pada Februari 2007, banjir menyebabkan 70 persen wilayah kota Jakarta lumpuh.
Kala itu, ratusan ribu rakyat yang kediamannya kebanjiran mengungsi ke berbagai tempat penampungan, termasuk masjid dan sekolah. Mereka tidur saling berdesakan dalam keadaan perut keroncongan, kedinginan, dan terserang penyakit.
Sedangkan warga tajir, yang tinggal di permukiman-permukiman mewah, lebih memilih mengungsi ke hotel-hotel berbintang.
Alwi menuliskan, banjir di Ibu Kota sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan selalu memusingkan para Wali Kota dan Gubernur untuk mengendalikannya. Sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro, Gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso.
Begitu pula saat Belanda masih menduduki Batavia, nama Jakarta kala itu. Banjir juga memusingkan para gubernur Jenderal Belanda. Dari JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer juga gagal mengatasi banjir di Batavia.
Tercatat ada 66 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia, tapi tidak ada yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini.
Namun, seorang penulis Amerika Serikat yang selama beberapa tahun menjadi staf kantor penerangan AS (USIS) di Jakarta, ketika menulis tentang kota ini, menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas rawa-rawa.
Kalau saja Coen bijaksana dan memilih tempat yang lebih tinggi, setidaknya bencana banjir dapat dikurangi dan tidak memusingkan para penggantinya.
Jakarta yang terletak di dataran rendah sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, memang sering dilanda banjir. Peristiwa yang terjadi 15 abad lalu itu sempat terekam dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta.
Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan ini pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati di Tangerang) sepanjang 12 kilometer untuk mengatasi banjir.
Untuk itu, sang raja telah menyembelih seribu ekor sapi. Para sejarawan memperkirakan, jika satu ekor sapi dagingnya dimakan untuk 100 orang, maka jumlah penduduk di sekitar kawasan itu pada 14 abad yang lalu sudah mencapai ratusan ribu jiwa.
Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan permukiman didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu, rawa-rawa di pedalaman oleh sang raja boleh diuruk untuk permukiman.
“Maka munculah nama-nama kampung seperti Rawa Bangke di Jatinegara dan Rawa Anjing di Banten. Tetapi rawa-rawa di pantai oleh raja dilarang untuk diuruk karena merupakan kawasan resapain air,” tulis Alwi dalam pembuka buku terbitan Republika itu.
Di sana juga tertulis, bahwa banjir paling besar terjadi di Batavia pada 1872. Kala itu banjir membuat Sluisburg (Pintu Air) di depan Masjid Istiqlal jebol.
Saat itu Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan sekitarnya. Begitu pula Harmoni, Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda), tidak dapat dilalui kendaraan. Demikian juga Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Pada tahun 1895 pemerintah Hindia Belanda disebut-sebut pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Batavia. Belanda sangat sadar bahwa Batavia merupakan dataran rendah yang potensial terlanda bencana banjir, karena daerahnya memang berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil).
Grand design itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta. Kini kawasan Puncak sudah semerawut dan beralih fungsi, sebagian sudah kehilangan hutan, akibat pembangunan vila-vila yang menyalahi tata ruang. Tidak heran kalau hujuan turun di kawasan ini Jakarta kebanjiran karena hilangnya daerah resapan air.
Banjir besar juga pernah terjadi di Jakarta pada 1932. Banjir yang terjadi pada1932. Banjir yang terjadi pada 9 dan 10 Januari 1932 disebabkan hujan yang turun selama dua hari dua malam, dengan curah mencapai 150 mm.
Kala itu, banyak penduduk tinggal di atap-atap rumah menunggu air surut. Dalam menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda jauh lebih baik dari masa kini. Para lurah yang ketika itu disebut wijkmeester, atau bek menurut dialek Betawi, ditugaskanagar betul-betul mengawasi kebersihan.
Mereka yang tepergok membuang sampah di sungai akan langsung dihukum. Pemerintah Hindia Belada juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya.
“Kalau Belanda bertindak tegas terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai dan menghukum mereka yang membuang sampah di sungai, kenapa tindakan semacam itu kini tidak dilakukan? Kalau kita mau meredakan banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat, upaya pemeliharaan sungai sangat diperlukan,” tulis Alwi. 3