- Beranda
- The Lounge
The Power of Pak Ogah
...
TS
gmehmet
The Power of Pak Ogah
Spoiler for Pak Ogah:
Pak Ogah dapat dengan mudah ditemui pada jam-jam sibuk dan padat kendaraan, terutama pagi dan sore hari. Fenomena ini merupakan konsekuensi dari minimnya kehadiran dan peran aktif petugas Polisi Lalu Lintas dalam mengatur lalu lintas Jakarta yang padat. Kecuali di ruas-ruas jalan utama seperti Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto, dan Rasuna Said, hampir sebagian besar tugas Polantas tergantikan oleh Pak Ogah.
Coba sesekali berkendara pada pagi hari kerja di Jalan Inspeksi Kalimalang, Jakarta Timur. Salah satu jalan utama kendaraan dari Bekasi menuju Jakarta ini memiliki banyak titik – titik persimpangan dan pertigaan yang setiap pagi selalu padat oleh arus kendaraan menuju Jakarta. Sebanyak dua hingga tiga polantas memang terlihat hadir, misalnya berdiri di atas pembatas jalan antara pertigaan Kalimalang dan Radin Inten atau pertigaan Kalimalang dan Pondok Bambu. Namun keberadaan mereka di kedua titik tersebut tidak terlalu membantu karena sudah ada lampu lalu lintas yang berfungsi dengan baik. Justru, beberapa meter setelahnya ada banyak pertigaan yang malah diatur oleh Pak Ogah. Tidak ada Polantas yang berperan.
Tak jauh dari Kalimalang, Pak Ogah terlihat dalam sosok perempuan empat puluh tahunan bernama Santi, setidaknya begitu penuturan para sopir angkot yang ngetem di pertigaan Cawang UKI. Santi aktif mengatur lalu lintas angkot dari arah Cililitan menuju DI Panjaitan dan Kalimalang agar bisa ngetem di pertigaan Cawang, terutama sore hingga malam hari saat jam pulang kerja. Ia mengatur angkot mana yang berhenti sebelum pertigaan, angkot mana yang berhenti di depan pertigaan, dan angkot mana yang harus jalan karena dianggapnya sudah penuh penumpang, agar tidak menghalangi gerak bus Transjakarta dan kendaraan lain. Meski bukan petugas resmi, Santi disegani semua sopir angkot sehingga mereka tunduk pada perintahnya. Sopir angkot yang diminta untuk jalan bahkan menyelipkan beberapa lembar uang dua ribuan ke Santi.
Santi dan para Pak Ogah di Kalimalang adalah satu dari sekian ‘polantas swasta’ yang mewarnai wajah Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Jumlah mereka tidak sedikit, hampir ada di setiap pertigaan jalan atau putaran balik yang padat kendaraan. Program sebuah radio berita Jakarta mengenai laporan pendengar atas situasu lalu lintas menunjukkan, di pagi dan sore hari ada saja pendengar dari seantero Jakarta yang menelpon untuk mempertanyakan keberadaan polisi lalu lintas karena jalanan diatur oleh Pak Ogah. Beberapa malah berkeluh kesah karena pengaturan oleh Pak Ogah justru menambah kemacetan. Di beberapa titik, Pak Ogah justru membantu kendaraan yang akan melanggar rambu lalu lintas, misalnya larangan memutar balik.
Menjamurnya Pak Ogah dapat dijadikan indikasi pasifnya kepolisian dalam mewujudkan disiplin berlalu lintas di Ibukota, kecuali pada momen – momen seremonial semisal Operasi Simpatik Jaya yang hanya berlangsung beberapa waktu. Selepas itu, rekayasa lalu lintas kembali ‘diambil alih’ oleh Pak Ogah. Padahal, melakukan rekayasa lalu lintas ini bukan hal tugas sembarangan. Ia secara langsung diamanatkan oleh dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (“UU Polri”) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU Lalin”).
Dalam Pasal 14 UU Polri, salah satu tugas pokok Kepolisian RI adalah menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (2) huruf f dan g UU Lalin, yang mengatur bahwa manajemen dan rekayasa Lalu Lintas dilakukan oleh Kepolisian dengan cara (i) pengendalian lalu lintas pada persimpangan; dan (ii) pengendalian lalu lintas pada ruas jalan. Di Jakarta, tugas inilah yang dengan sigap ‘diambil alih’ Pak Ogah karena Polantas absen.
Minim Jumlah?
Minimnya jumlah polantas sepertinya bukan alasan yang tepat, setidaknya jika melihat bagaimana pola penempatan polantas di jalanan Jakarta. Di Jalan MT Haryono dari Cawang mengarah Semanggi, pada pagi hari kerja terjadi penumpukan polantas di salah satu ruas jalan. Setiap tiga hingga empat meter, ada bapak ibu polantas yang berdiri, terkadang berdampingan, sambil mengobrol dan sesekali memperhatikan keadaan lalu lintas. Namun keberadaan mereka hanya terlihat sepanjang beberapa puluh meter saja, selepas itu tidak lagi. Saya perhatikan, ternyata para polantas itu banyak berdiri di sekitar kantor Direktorat Lalu Lintas, kantor mereka sendiri. Menarik. Lebih menarik karena tak jauh dari situ, ada satu pertigaan padat tanpa lampu lalu lintas yang diatur oleh Pak Ogah. The Power of Pak Ogah.
Coba sesekali berkendara pada pagi hari kerja di Jalan Inspeksi Kalimalang, Jakarta Timur. Salah satu jalan utama kendaraan dari Bekasi menuju Jakarta ini memiliki banyak titik – titik persimpangan dan pertigaan yang setiap pagi selalu padat oleh arus kendaraan menuju Jakarta. Sebanyak dua hingga tiga polantas memang terlihat hadir, misalnya berdiri di atas pembatas jalan antara pertigaan Kalimalang dan Radin Inten atau pertigaan Kalimalang dan Pondok Bambu. Namun keberadaan mereka di kedua titik tersebut tidak terlalu membantu karena sudah ada lampu lalu lintas yang berfungsi dengan baik. Justru, beberapa meter setelahnya ada banyak pertigaan yang malah diatur oleh Pak Ogah. Tidak ada Polantas yang berperan.
Tak jauh dari Kalimalang, Pak Ogah terlihat dalam sosok perempuan empat puluh tahunan bernama Santi, setidaknya begitu penuturan para sopir angkot yang ngetem di pertigaan Cawang UKI. Santi aktif mengatur lalu lintas angkot dari arah Cililitan menuju DI Panjaitan dan Kalimalang agar bisa ngetem di pertigaan Cawang, terutama sore hingga malam hari saat jam pulang kerja. Ia mengatur angkot mana yang berhenti sebelum pertigaan, angkot mana yang berhenti di depan pertigaan, dan angkot mana yang harus jalan karena dianggapnya sudah penuh penumpang, agar tidak menghalangi gerak bus Transjakarta dan kendaraan lain. Meski bukan petugas resmi, Santi disegani semua sopir angkot sehingga mereka tunduk pada perintahnya. Sopir angkot yang diminta untuk jalan bahkan menyelipkan beberapa lembar uang dua ribuan ke Santi.
Santi dan para Pak Ogah di Kalimalang adalah satu dari sekian ‘polantas swasta’ yang mewarnai wajah Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Jumlah mereka tidak sedikit, hampir ada di setiap pertigaan jalan atau putaran balik yang padat kendaraan. Program sebuah radio berita Jakarta mengenai laporan pendengar atas situasu lalu lintas menunjukkan, di pagi dan sore hari ada saja pendengar dari seantero Jakarta yang menelpon untuk mempertanyakan keberadaan polisi lalu lintas karena jalanan diatur oleh Pak Ogah. Beberapa malah berkeluh kesah karena pengaturan oleh Pak Ogah justru menambah kemacetan. Di beberapa titik, Pak Ogah justru membantu kendaraan yang akan melanggar rambu lalu lintas, misalnya larangan memutar balik.
Menjamurnya Pak Ogah dapat dijadikan indikasi pasifnya kepolisian dalam mewujudkan disiplin berlalu lintas di Ibukota, kecuali pada momen – momen seremonial semisal Operasi Simpatik Jaya yang hanya berlangsung beberapa waktu. Selepas itu, rekayasa lalu lintas kembali ‘diambil alih’ oleh Pak Ogah. Padahal, melakukan rekayasa lalu lintas ini bukan hal tugas sembarangan. Ia secara langsung diamanatkan oleh dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (“UU Polri”) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU Lalin”).
Dalam Pasal 14 UU Polri, salah satu tugas pokok Kepolisian RI adalah menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (2) huruf f dan g UU Lalin, yang mengatur bahwa manajemen dan rekayasa Lalu Lintas dilakukan oleh Kepolisian dengan cara (i) pengendalian lalu lintas pada persimpangan; dan (ii) pengendalian lalu lintas pada ruas jalan. Di Jakarta, tugas inilah yang dengan sigap ‘diambil alih’ Pak Ogah karena Polantas absen.
Minim Jumlah?
Minimnya jumlah polantas sepertinya bukan alasan yang tepat, setidaknya jika melihat bagaimana pola penempatan polantas di jalanan Jakarta. Di Jalan MT Haryono dari Cawang mengarah Semanggi, pada pagi hari kerja terjadi penumpukan polantas di salah satu ruas jalan. Setiap tiga hingga empat meter, ada bapak ibu polantas yang berdiri, terkadang berdampingan, sambil mengobrol dan sesekali memperhatikan keadaan lalu lintas. Namun keberadaan mereka hanya terlihat sepanjang beberapa puluh meter saja, selepas itu tidak lagi. Saya perhatikan, ternyata para polantas itu banyak berdiri di sekitar kantor Direktorat Lalu Lintas, kantor mereka sendiri. Menarik. Lebih menarik karena tak jauh dari situ, ada satu pertigaan padat tanpa lampu lalu lintas yang diatur oleh Pak Ogah. The Power of Pak Ogah.
Diubah oleh gmehmet 09-06-2014 05:28
0
1.7K
Kutip
7
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.5KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru