cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Pendakian Terakhir - KUNCEN


Ketika mataku terbuka, yang tampak hanya kegelapan. Sangat gelap sehingga mataku teramat sakit untuk terus terbuka. Saat kilat menyambar, terlihat olehku sebuah ruangan. Sementara kedua tangan dan kakiku terikat cukup erat pada—mungkin--sebuah kursi besi.

Kepalaku terasa berdenyut-denyut hingga membuatku sulit untuk berpikir. Namun, rasa sakit di pergelangan tangan dan kaki, serta ketidakleluasaan untuk bergerak menuntunku untuk segera mengambil tindakan. Dengan beberapa trik sulap yang pernah diajarkan Om Matteo, aku berhasil membebaskan tangan dan kakiku. Secepatnya aku bangkit dan berjalan. Namun kakiku menyandung sesuatu hingga terjatuh. Kuraba benda yang menghalangi langkahku, sesuatu yang empuk. Segera kuketahui itu apa, ketika kilat kembali menyambar beberapa kali. Benda empuk itu tubuh manusia dengan mata terbelalak dan luka menganga di lehernya.

Aku tersentak dan sesegera mungkin menjauh. Tempat apa ini? Kenapa aku terperangkap di sini  bersama sesosok mayat? Mayat siapakah itu? Badanku gemetar dan kepala terasa pusing. Kucoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada diriku sebelum ini ....

Siang itu pukul dua, kantin langgananku cukup sepi. Aku memilih meja di sisi kiri kantin, duduk dan menikmati roti bakar. Laptop kubuka dan mulai melihat-lihat foto di dalamnya. Ada foto-fotoku bersama Grisella dan Evano. Namun foto bersama sahabat dan pacarku itu tak sebanyak fotoku bersama Om Matteo saat bermain sulap.

Sejak kedua orang tuaku meninggal sepuluh tahun yang lalu, aku diasuh Om Matteo dan Bibi Leony. Om Matteo mengajari berbagai trik sulap padaku hingga mahir. Pada usia sepuluh tahun, aku sudah terbiasa bermain sulap di panggung menemani Om Matteo. Kami diundang ke berbagai perayaan, tapi paling sering pesta ulang tahun anak-anak. Mungkin anak-anak dan badut sulap adalah sepasang sahabat sejati.

Kutekan tombol panah ke samping. Ada fotoku bersama Evano dan Grisella saat kami mendaki Gunung Gede Pangrango. Kami beberapa kali mendaki bersama.

Sebuah rasa tak nyaman tiba-tiba muncul. Aku mendongak dan mendapati seorang cowok memakai hoodie abu-abu sedang memerhatikanku. Cowok itu lagi! Beberapa kali aku memergokinya sedang mengawasiku di berbagai kesempatan. Pengemar rahasia atau seorang yang hendak menjadikanku target kejahatan? Aku pura-pura terus memandang laptop sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Cowok itu terlihat sibuk dengan kopi dan ponselnya, tapi sesekali kupergoki tengah melihat ke arahku.

Tak lama kemudian yang kutunggu—Evano dan Grisella—datang. Mereka tersenyum lebar, melambai ke arahku, kemudian bergegas melangkah dan duduk di depanku. Aku memandang ke arah cowok ber-hoodie itu tapi dia sudah raib. 

“Lama banget sih kalian!” keluhku pada Grisella dan Evano.

“Cemburu?” goda Grisella.

“Ih, apaan? Enggaklah!” tepisku. Evano memang pacarku, tapi cemburu pada Grisella? Sedikitpun tidak! Grisella sahabatku sejak SMA. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Aku memercayainya. Untuk apa menaruh cemburu? Hal seperti itu justru malah membuat hidupku tak tenang. 

“Mana fotonya?” pintaku.

Evano menyodorkan kameranya. Kulihat beberapa foto hasil jepretannya di kamera itu. Evano memotret Grisella untuk diupload dalam instagramnya. Aku mengacungkan jempol. Evano memang fotografer amatir dengan kelas profesional. Beberapa kali aku mendorong agar mengembangkan bakatnya menjadi bisnis, tapi dia menolak. Aku tiba-tiba teringat cowok ber-hoodie itu. “Tadi ada cowok yang menguntitku,” kataku pada Evano dan Grisella. Mereka saling pandang.

“Nah, kan, baru juga ditinggal sebentar sudah ada yang mau ngembat!” Grisella menggoda.

“Mana orangnya?” Evano terlihat tak senang.

“Tadi duduk di sana.” kataku sambil menunjukkan tempat di mana cowok itu duduk.

“Kalau lain kali ngelihat cowok itu, bilangin aku!” ujar Evano serius.

Aku tertawa. Tak biasanya Evano bersikap seperti itu. Kurasa kali ini dia terlalu demonstratif menunjukkan rasa cemburunya. Apakah karena ada Grisella? Ah, berpikir apa aku ini? Kutepis perasaan aneh yang tiba-tiba saja menjalari dadaku.

Setelah makan dan minum di kantin itu, kami berpisah, dengan janji besok bertemu di kosku, untuk bersama-sama naik ke Bukit Hijau. Grisella pulang sendiri ke kosnya, sedangkan Evano menawariku pulang dengan motornya.

Aku dan Evano berjalan dengan santai melintasi koridor kampus menuju parkiran. Di sebuah sudut yang sedikit tersembunyi, aku melihat cowok ber-hoodie itu lagi. Aku menarik tangan Evano dan berbisik padanya, “Si penguntit itu ada di dekat pohon mahoni besar itu.”

Evano melirik ke arah yang kumaksud sambil berusaha bersikap wajar. Wajahnya berkerut. “Aku tahu dia,” bisik Evano sambil menoleh ke arahku.

“Siapa dia?”

“Dia Arion, anak Teknik Sipil,” jawab Evano. “Dulu dia aktif di kelompok mahasiswa pecinta alam, tapi sudah lama absen.”

“Pantas saja aku nggak pernah lihat.” Selama kuliah, aku juga aktif di kegiatan mahasiswa pecinta alam. Mungkin Arion itu mahasiswa dua atau tiga tingkat di atasku dan sudah berhenti dari kegiatan pecinta alam ketika aku mulai aktif. “Kamu kenal?” Aku menoleh ke arah Evano.

“Siapa yang nggak kenal dia? Dia cowok populer. Jago mendaki dan aktif juga di berbagai kegiatan kemahasiswaan,” kata Evano yang kuliah satu tingkat di atasku.

“Oh .... Lalu kenapa dia berhenti mendaki?”

“Entahlah, aku nggak tahu alasannya.”

Aku manggut-manggut. “Kenapa dia menguntitku, ya?”

***

Sudah lama aku, Grisella dan Evano tidak mendaki karena sibuknya jadwal kuliah.Untuk meredakan rasa kangen pada alam, kami berniat mensaki Bukit Hijau. Letak bukit itu tak terlalu jauh, jadi bisa naik pagi dan sorenya bisa langsung pulang.

Entah kenapa, malam sebelum berangkat naik bukit itu aku tidak bisa tidur. Sudah menguap berkali-kali tapi mataku tak mau terpejam. Pikiranku seakan memperingatkan untuk waspada. Apakah ini karena cowok ber-hoodie itu? Aku baru tertidur ketika hari sudah mulai pagi, karena itu jadi bangun kesiangan. Ketukan di pintu kamar dan suara panggilan Grisella-lah yang membangunkanku.

Dengan kantuk yang masih menyiksa kuseret langkah menuju pintu, membukanya dan melihat mata Grisella yang terbelalak ketika melihat kondisiku.

“Astaga, kau baru bangun?”

“Semalam aku tak bisa tidur.” Kuhempaskan pantat ke ranjang dan kembali ke posisi tidur.

“Jadi pergi nggak sih?” Wajah Grisella menegang.

“Aku ngantuk, Gris.”

“Yah, kok gitu sih?” Grisella menatapku. “Ayo dong, aku belum pernah ke sana.”

“Cuma bukit.”

“Pengen lihat pokoknya!” Nada suara Grisella sedikit memaksa. Dia memandangku dengan wajah memohon.

“Hmmm ... susah kalau sudah pakai jurus rayuan gini. Okey deh, aku mandi dulu,” kataku segera menuju kamar mandi. Aku mandi dengan cepat dan segera bersiap. Setengah jam kemudian aku dan Grisella keluar dan mendapati Evano sudah menunggu di teras.

Perjalanan kami menuju bukit itu hanya satu jam. Hawa dingin mulai menyergap ketika kami memasuki kawasan itu. Kami bertemu beberapa orang yang hendak naik bukit. Dari sudut mata, aku menangkap bayangan Arion, tapi ketika menoleh, tak kulihat orangnya. Apa aku mulai berhalusinasi? Ataukah ini salah satu efek dari kurang tidur? Aku menatap ke arah Arion menghilang. Namun ketika menoleh, kulihat Evano sedang menatapku. 

“Ada apa?” tanya Evano. Aku hanya menggeleng.

Kami menaiki bukit dengan langkah yang santai. Jalannya tak terlalu menanjak. Di kanan kirinya terhampar perkebunan teh. Terkadang diselingi beberapa petak ladang warga yang ditanami mawar di sisinya

Di puncak bukit kami mengobrol, bercanda, makan bekal dan tak lupa berswafoto. Evano membawa tripod sehingga kami bisa foto bertiga. Menjelang sore, kami mulai menuruni bukit. Namun gerimis datang dan membuat perjalanan kami sedikit melambat. Di suatu tempat, kami dicegat beberapa orang. Tanpa mengatakan apa-apa mereka menangkap kami, kemudian membawa ke suatu tempat dengan mata tertutup. Aku meronta dan berusaha melepaskan diri, tapi seseorang memukul kepalaku hingga pingsan. Ketika tersadar, tanganku terikat dan aku sendirian. Maksudku tidak benar-benar sendirian, karena kini bersamaku ada sesosok mayat dengan mata melotot.

Aku beringsut mendekati pintu, ketika kilat sekali lagi menyambar. Tiba-tiba kulihat beberapa orang membawa obor dan sepertinya menuju ke arahku. Aku berusaha mencari tempat persembunyian. Namun ruangan ini cukup gelap untuk bisa mencari tempat yang pas. Teraba olehku sebuah benda, sepertinya lemari. Aku bersembunyi di dalamnya.

Orang-orang itu memasuki ruangan, sinar obornya menembus celah lemari yang tak bisa tertutup rapat. Seseorang berteriak dan mengatakan persembahan telah lari. Aku benar-benar tak mengerti, mengapa diriku disebut persembahan. Namun satu yang aku tahu, harus segera melarikan diri sekarang. 

Tanganku meraba isi kantong celana, ada selembar uang kertas, kembalian membeli air mineral sewaktu berangkat tadi. Aku segera keluar dari lemari kemudian melakukan sebuah trik; menyulap uang kertas itu menjadi puluhan lembar yang bertebaran di udara. Mungkin itu tak terlalu membantu tapi akan sedikit menghalangi pandangan mereka. 

Aku berlari keluar dan segera dikejar oleh orang-orang itu. Aku terus berlari di antara kilat yang menyambar dari kejauhan. Sinar rembulan yang menjadi penunjuk jalan pun timbul tenggelam di antara awan-awan. Jantungku berdegup kencang. Aku belum pernah merasakan sedemikian takut. Apakah aku takut mati sekarang? Padahal ketika kedua orang tuaku meninggal, aku ingin ikut mati. 

Sambil terus berlari, aku membangkitkan keberanian. Kuingat petuah yang selalu diberikan Om Matteo agar jangan pernah takut terhadap apapun, kecuali pada Tuhan. Namun petuah itu tak membuat ketakutanku hilang. Lutut gemetar dan degup jantungku semakin bertalu. Aku lelah. Napasku ngos-ngosan. Kulihat ke belakang, tak tampak orang-orang dengan obor yang mengejar. Aku tiba-teringat Grisella dan Evano. Bagaimana nasib mereka sekarang? Apakah mereka disekap orang-orang itu di tempat lain? Ataukah mereka telah mati seperti sosok yang kulihat ditempatku disekap?

Kuatur napas dan duduk di bawah pohon, melihat sekeliling dan berusaha mengerti di mana sekarang aku berada. Apakah ini masih Bukit Hijau? Bulan cukup berbaik hati memberikan terangnya saat itu—awan-awan yang menutupinya pergi--hingga aku bisa melihat pepohonan di sekitar dan sebuah bangunan di kejauhan. Aku kembali berdiri dan melangkah menuju ke bangunan itu. Cahaya purnama telah membantuku menemukan jalan dan mungkin juga akan membantu orang-orang itu untuk menemukanku!

Langkahku semakin mendekati bangunan yang kini terlihat lebih jelas olehku mirip seperti kuil. Ada seberkas cahaya muncul dari celah sempit antara dua daun pintu. Aku berhenti. Rasa ragu tiba-tiba menyelimuti. Bagaimana jika ini juga tempat orang-orang itu? Belum sempat aku memutuskan akan melangkah ke mana, tiba-tiba pundakku disentuh seseorang.



“Vallerie?!”

Aku tersentak dan segera berbalik untuk melihatnya.

“Grisella?” Oh Tuhan, betapa senangnya aku bisa bertemu dengannya. Untunglah dia selamat. “Kau tak apa-apa?” Aku memeluknya dengan perasaan haru.

“Aku berhasil melarikan diri dari orang-orang itu, dan kau?”

Kulepaskan pelukan. “Aku juga berhasil melarikan diri,” kataku. “Kau tahu di mana Evano?” tanyaku cemas.

“Entahlah, aku tak tahu. Aku pingsan dan terbangun dalam keadaan terikat.” Grisella terdiam sejenak kemudian memandang lurus ke arahku. “Kita akan cari dia bersama-sama, tapi kita harus bersembunyi terlebih dulu, setidaknya sampai kita benar-benar aman.”

Aku mengangguk kemudian memandang kuil itu.

“Ayo kita sembunyi di situ,” ajak Grisella seraya menarik tanganku. Meskipun ragu, aku mengikuti langkahnya.

Ketika kami memasuki bangunan itu dan membuka pintunya, aku merasa sedikit aneh, karena bagian dalam kuil itu dipenuhi cahaya lilin dan obor. Kami terus berjalan. Di bagian lebih dalam ada altar dengan asap dupa yang masih mengepul di sebuah wadah. Kudengar di belakang suara pintu tertutup. Aku terkejut dan menoleh. Di belakang kami tiba-tiba telah dipenuhi orang-orang. Dari bagian-bagian tersembunyi kuil itu pun muncul orang-orang dengan pakaian yang aneh. Grisella menarik tanganku mendekati altar sementara beberapa orang mengepung kami.

“Sudah cukup!” seru Grisella dengan suara lantang. Terlalu lantang hingga membuatku terkejut dan menoleh kepadanya. Kulihat seseorang memberikan sebuah jubah aneh penuh dengan bulu-bulu kepada Grisella, juga tongkat dengan gagang entah apa.

“Kau, naiklah ke altar!” perintah Grisella kepadaku sambil menunjuk dengan tongkatnya.

“Apa-apaan ini, Grisella?” tanyaku tak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.

“Ikat dia di altar!” perintah Grisella kepada dua orang lelaki. Mereka segera menarik pergelangan tanganku dan mengikatnya. Meskipun aku meronta, tak mampu mengimbangi kedua lelaki itu. Ini pasti mimpi! Ini tidak nyata!

Dalam sekejap aku telah terikat di atas altar. Kenyataan tentang Grisella membuatku sulit untuk percaya. Ini benar Grisella atau hanya gadis yang mirip dengannya?

Peluhku berjatuhan. Jantungku berdegup kencang. Mungkin sebentar lagi aku akan mati. Beginikah perasaan orang yang tahu kapan kematiannya? Air mataku menetes tanpa bisa kucegah.

Orang-orang itu merapal mantera sambil sesekali melihat ke langit-langit ruangan yang terbuka seluas altar, di mana sinar purnama jatuh tepat di badanku. Tiba-tiba sunyi, kemudian Grisella berjalan mendekatiku. Di belakangnya ada sosok yang mengikuti. Sosok itu begitu kukenal dan memakai jubah yang sama dengan Grisella. Evano! Dalam sekejap aku mendapat dua kenyataan aneh yang sulit kuterima.

Grisella mengacungkan sebuah senjata dan serta merta aku berteriak, “Tunggu! Bisa kau jelaskan semua ini? Tolong beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi, demi persahabatan yang telah terjalin antara kita selama ini dan supaya aku tidak mati penasaran.”

Evano menoleh ke arah Grisella dan sahabatku itu berjalan ke arahku.

“Vallerie, kasihan, ya, kamu nggak tahu apa-apa.” Nada suara Grisella terdengar sinis.

Aku menatapnya tajam. Kurasa dia sudah gila, ataukah dia penganut sekte?

“Apakah selama ini Om Matteomu tak pernah menceritakan bahwa kau adalah cicit dari Nyai Kembang Mayang? Kau bukan hanya pesulap, tapi memiliki darah seorang dukun sakti.”

“Grisella, aku tak mengerti apa yang kau katakan.”

“Tentu saja kau tak mengerti. Om Matteo tak ingin kau menjadi dukun dan mengikuti jejak ibu serta nenekmu. Kau tahu, nenek dan ibumu telah membunuh ibuku.”

“Cerita macam apa itu? Bukankah ibumu masih hidup?”

“Sayang sekali kau tak pernah tahu, ibuku yang kau kenal itu hanya ibu angkat.” Vallerie, ibuku sama seperti ibumu, seorang dukun. Kini aku hendak menuntut balas kematiannya, karena itu terimalah kematianmu!”

Aku menoleh pada Evano. “Tolong aku, Evano.”

Evano dan Grisella tertawa. Tawa mereka menggema ke seluruh sudut ruangan.
“Evano itu kekasihku,” kata Grisella yang membuatku bagai disengat tawon. “Kami akan menjadi raja dan ratu dukun abad ini. Dia memacarimu hanya untuk menjebak. Saat purnama bulan ke tujuh adalah saat yang kami tunggu untuk menjadikanmu jalan keabadian kami.”

“Kau gila!” teriakku.

Grisella tertawa melengking.



Aku tak mau pasrah menyerahkan nyawa jika itu menjadi jalan bagi keabadian iblis berwujud Grisella dan Evano. Aku harus melawan walau nyawaku taruhannya. Dengan sebuat trik, Aku bisa melepaskan ikatan di tangan. Kemudian dengan sebuah ayunan tangan mematikan seluruh api yang ada di ruangan itu dan segera berlari menuju pintu yang tampak remang oleh cahaya bulan. Mereka langsung mengejarku. Ketika aku hampir tertangkap oleh mereka, seseorang membantu. Dia--cowok ber-hoodie itu—mengangkat tangannya dan membuat orang-orang Grisella terpelanting.

“Ayo ikuti aku!” kata Arion kemudian segera berlari menembus malam. Entah berapa lama kami berlari dan berjalan hingga kurasakan malam semakin dingin. Aku menggigil meskipun telah memakai jaket.

Kami sampai pada sebuah gua kecil kemudian bersembunyi di sana. “Kita bersembunyi di sini sampai fajar tiba,” kata Arion sambil menoleh ke arahku. “Aku Arion.” Dia mengulurkan tangan.

“Vallerie,” jawabku seraya menjabat tangannya.

“Apakah kau sama sekali tak tahu tentang siapa dirimu?”

Aku menggeleng. “Kenapa kau mengikutiku?”

“Karena aku tahu, suatu kekuatan jahat sedang mengintaimu.”

“Kamu tahu?”



Arion tersenyum. “Ada banyak hal yang tidak kau ketahui tentang sejarah hidupmu. Kamu keturunan Nyai Kembang Mayang yang hebat, pasti di tanganmu terletak takdir yang hebat untuk membantu dunia.”

“Aku hanya pesulap.”

“Tidak, kamu lebih dari itu.” 

Terdengar langkah-langkah mendekat yang ternyata Grisella, Evano dan orang-orangnya sudah berada di pintu gua.

Grisella tertawa. Suara tawanya mengalahkan lolongan serigala. “Tak ada jalan lagi buatmu lari!

“Grisella, sadarlah. Apa yang kamu lakukan ini keliru!”

“Vallerie, sudah terlambat bagimu untuk menyadari yang terjadi.”

Grisella mengangkat pedangnya, aku memejamkan mata dan Arion menggenggam tanganku erat. Setidaknya kini aku tak terlalu ketakutan menyambut kematianku. Sesaat kemudian kudengar suara teriakan Grisella kemudian sunyi. Apakah aku sudah mati?

“Bukalah matamu’” kata Arion.

“Apa kita sudah berada di syurga?”

“Tidak. Kita masih di gua. Lihat, fajar sudah mulai muncul.”

Kubuka mata, semburat keemasan menerobos pintu gua yang menghadap ke timur. “Di mana mereka?”

“Itu!”

Kulihat di hadapanku pemandangan yang sangat menakutkan dan menjijikkan. Tubuh-tubuh yang meleleh mengenaskan.

“Mereka telah kehabisan waktu. Mereka gagal menyelesaikan ritual yang telah dimulai dan musnah oleh keangkaramurkaannya sendiri.”

“Terima kasih telah menyelamatkanku, Arion.”

“Tak perlu berterima kasih. Aku senang akhirnya orang-orang jahat seperti mereka musnah.”

Kulihat dua tubuh berjubah bulu, Evano dan Grisella. Mereka pernah begitu lama menjadi bagian dari hidupku. Betapa menyedihkan harus menerima kenyataan bahwa orang yang sangat kucintai dan sayangi hanya memanfaatkanku.

Kupandang Arion. Kalau bukan karena dia, aku pasti sudah mati. 

"Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi," pintaku kepada Arion.

"Mungkin cerita ini sulit dipahami oleh generasi kita saat ini tetapi setidaknya kau telah melihat sendiri kenyataannya," kata Arion membuka ceritanya. "Nyai Kembang Mayang adalah empat generasi di atasmu. Dia dukun yang hebat. Suatu hari dia menikah dengan seorang pria bernama Haryo lewat jalan perjodohan. Haryo tidak berdaya menentang keinginan keluarganya meskipun dia sudah memiliki kekasih yang bernama Nyai Centini. Nyai Centini adalah anak dari seorang gundik Belanda karena itu keluarga Haryo tidak pernah bisa menerimanya karena menganggap tidak sederajat. Karena kecewa, Nyai Centini mempelajari ilmu hitam untuk menghancurkan Nyai Kembang Mayang bersama seluruh anak keturunannya termasuk kamu. Melalui ilmu hitam yang didapat secara turun-temurun, Grisella mewarisi ilmu itu dan berniat menjadikanmu tumbal keabadian."

"Seperti sebuah dongeng. Siapapun di luar sana tidak akan percaya cerita semacam ini. Tapi aku melihat tubuh yang meleleh itu dengan kedua mataku sendiri."

"Lalu kau kenapa tidak mendaki lagi,"

"Aku harus menjaga keselamatan seseorang."

"Aku?"

"Aku adalah keturunan Gondo, abdi setia Nyai Kembang Mayang yang diam-diam mencintainya. Seperti Grisella, aku juga punya tugas yang diturunkan."

"Kau tak perlu melakukannya," kataku.

"Kurasa, aku tak perlu mendaki lagi."

"Ini juga pendakian terakhirku." Aku tersenyum.

Pagi itu kami menuruni Bukit Hijau. Aku ingin segera menemui Om Matteo dan mendengarkan cerita yang seharusnya kudengar.(*)

Terima kasih sudah membaca thread (cerpen ane), semoga terhibur.

Sumber foto: Pixabay free pict.
yulisama
azhuramasda
bukhorigan
bukhorigan dan 8 lainnya memberi reputasi
9
649
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.