Sumber Gambar

Dalam membuat sebuah film, tentu seseorang membutuhkan banyak sekali kru yang mendukung dalam segala hal. Karena film sendiri bukan suatu hal yang dapat diselesaikan dengan seorang diri melainkan butuh tim untuk membuatnya. Hal ini juga sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi orang yang ingin bekerja ke dunia hiburan.

Ada banyak skill dan keterampilan dalam produksi sebuah film. Semua keterampilan itu tidak bisa dikuasai satu orang saja. Perlu keterlibatan banyak orang dalam menyukseskan sebuah film sehingga film tersebut bisa digarap maksimal dengan kualitas terbaik. Meliputi kameraman, editor hingga sutradara yang memimpin proses syuting.

Salah satu rumah produksi yang minggu lalu banyak dibicarakan adalah sebuah rumah produksi asal Jaksel yang membuat banyak orang terkejut. Lantaran rumah produksi itu menggarap film berunsur vulgar dan tidak memiliki izin. Membuatnya digrebek dan seluruh orang yang terlibat di sana ditangkap, bahkan beberapa pemerannya terancam dipanggil juga.


Sumber Gambar

Ada banyak hal yang disorot media dan menjadi fakta yang unik untuk diperbincangkan. Mulai nama-nama pemeran yang ternyata berasal dari kalangan selebgram dan model, hingga latar belakang sutradara yang ternyata pernah menjadi tukang urut. Belum selesai sampai disitu, ternyata masih ada fakta lainnya mengenai rumah produksi ini.

Hal ini diungkap oleh kuasa hukum kameramen dan editor dari rumah produksi ini yaitu Hika TA Putra di Polda Metro Jaya pada hari Jum’at lalu. Ia mengungkapkan besaran gaji yang diterima oleh kliennya. Ternyata memiliki sistem pembayaran yang berbeda dengan para pemeran yang dibayar per satu judul flm yang mereka bintangi.

Tapi untuk para kru, merka dibayar dengan gaji bulanan. Dan dalam sebulan mereka digaji dengan gaji di bawah UMR Jakarta yaitu sebesar 4 juta rupiah. Hika juga mengatakan bahwa kliennya awalnya tidak membuat film porno. Mereka awalnya membuat film-film biasa yang tidak bermuatan asusila seperti yang viral saat ini.


Sumber Gambar

Namun seiring berjalannya waktu, otak dari pimpinan rumah produksi ini mulai bergeser dan beralih ke genre yang bermuatan seksual. Hal ini membuat para kru merasa ditipu dan dijebak oleh si pemilik rumah produksi ini. Dan mirisnya, mereka juga tidak bisa asal keluar dari pekerjaan ini karena masih membutuhkan uang dan memiliki masalah ekonomi.

Karena tekanan ekonomi dan susahnya mencari pekerjaan di luar membuat para kru memutuskan untuk tetap bertahan. Apalagi banyak di antara mereka yang memiliki balita sehingga membutuhkan banyak dana untuk merawatnya. Padahal jika melihat keuntungan dari film-film mereka yang meraup hingga ratusan juta rupiah, seharusnya para kru mendapatkan gaji yang lebih tinggi.


Sumber Gambar

Sedangkan ada fakta lain yaitu bangunan yang mereka gunakan untuk membuat film dan menjadi basecamp merupakan bangunan yang disewa alias kontrakan. Bersebelahan dengan warung sembako. Para warga termasuk pemilik kontrakan mengaku bahwa mereka tahunya rumah produksi itu membuat film horor bukan film erotis.

Meski memiliki masalah ekonomi dan gaji yang tidak banyak, tapi mereka masih sanggup membayar kuasa hukum. Baguslah karena mereka ada yang membela pada saat persidangan nanti. Mungkin saja bisa bebas atau sekedar mendapatkan hukuman yang lebih ringan. Berbeda dengan pimpinan PH yang menjadi dalang dari semuanya. Kemungkinan dia akan dihukum lumayan sih wkwk.



Gimana menurut kalian mengenai nasib para kru ini? Apakah mereka tetap bersalah dengan keadaan yang ada?

Sumber: Link Referensi 1, Link Referensi 2
Tulisan dan Narasi Pribadi