Siapa yang hidupnya pernah menjadi pengamen jalanan, mencari recehan dari pinggir jalan, hanya untuk menjalani sebuah kehidupan? Sebuah kehidupan yang akan ada batasnya di dunia, karena manusia tak akan selamanya abadi.

Cerita-cerita pinggir jalan dan kemiskinan, memang kurang laku untuk dibahas, karena inspirator dunia pasti akan mengulas orang-orang hebat yang tentunya kisah sukses mereka banyak di ulas, bahkan dengan embel-embel dari bawah! Hmmm, selama yang saya tahu kisah sukses orang besar banyak dari keluarga mampu bukan dari fakir miskin. Bahkan Pak Jokowi pun bisa sekolah sampai sarjana menunjukkan beliau cukup mampu ekonominya, hanya orang yang hidup berkecukupan yang bisa menikmati pendidikan setinggi itu. Bagaimana dengan kisah dari karakter fakir miskin? Jarang sekali kisah mereka dibahas, karena itu sekarang saatnya kita bahas tentang mereka.



Zaman dulu dimana feodal masih kental, karya sastra terpecah namun kita bahas sastra pada masa itu, ada tragedi dan komedi, biar jelas akan ane kutip perbedaannya.



Disinilah terjadi pemisahan genre sastra dimana Tragedi untuk golongan raja, bangsawan, atau orang kaya sedangkan komedi untuk fakir miskin. Sebab orang miskin tidak terikat protokol, mereka bebas menampilkan ekspresinya.





Dan ekspresi seperti ini masih terbawa hingga sekarang. Contoh, tepuk tangan rakyat jelata ketika ada sesuatu yang heboh atau di hormati, berbeda dengan tepuk tangan dengan para pejabat atau orang kaya, yang terlihat lebih elegant.

Nah, ketika sastra dipadukan dengan musik hal ini juga berkembang namun ke dua arah yang berbeda. Sastra dan musik yang berhubungan dengan tragedi berkembang ke arah musik yang rumit, mewah dan mahal hingga mempunyai seni tingkat tinggi, seperti musik klasik, seriosa, biasanya disajikan di dalam sebuah opera.



Sedangkan sebaliknya musik untuk kalangan orang bawah cukup sederhana, mudah untuk di ikuti, liriknya pun tidak ribet cara bernyanyinya juga simple.

Semakin liriknya simple, semakin musiknya lebih mudah dimainkan dan dimengerti, maka yang banyak suka adalah golongan rakyat fakir miskin, maksudnya diluar golongan bangsawan.

Namun dari sini terlahir juga musik-musik kemarahan, baik kepada pemerintah, kepada kehidupan dan sebagainya ini yang disebut dengan musik cadas. Maka cara bernyanyinya, liriknya, bahkan suara musiknya semuanya serba keras, sampai sakit telinga mendengarnya.





Sedangkan pengamen yang lahir di abad pertengahan eropa lebih memilih jenis musik yang merakyat, mudah, dan simple untuk dinyanyikan.

Bagaimana bisa ada pengamen? Jadi begini zaman dahulu, radio dan televisi cukup terbatas, musik memang sudah ada tapi banyak orang yang jarang mendengarnya. Disinilah pengamen itu hadir untuk memainkan musik untuk masyarakat umum. Profesi pengamen saat itu sangat dibutuhkan dan disenangi masyarakat.



Maka saat itu banyak pengamen yang dipesan untuk menyanyikan lagu-lagu yang tenar di zamannya.

Namun semakin berkembangnya zaman pengamen juga mulai bermetamorfosis menjadi lebih elegant dengan alat musik yang biasa dipakai oleh bangsawan, seperti piano, biola dan lain sebagainya.

Namun profesi itu kini dianggap rendah di Indonesia, karena dulu dipesan lalu dikasih uang, sekarang dikasih uang biar cepet pergi karena berisik hehehe...

Jadi pengamen tidak dibutuhkan lagi saat ini, tidak seperti masa lalu. Namun walau begitu dengan pengamen yang kreatif masih bisa bertahan di tengah gempuran zaman.



Terima kasih yang sudah membaca thread ini sampai akhir, bila ada kritik silahkan disampaikan dan semoga thread ini bermanfaat, tetap sehat dan merdeka. See u next thread.





"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2022
referensi : klik, klik, klik
Pic : google