- Beranda
- Stories from the Heart
Perjalanan Pertama
...
TS
annirobiah
Perjalanan Pertama
Haii ... ketemu lagi.
Maapin yaw dah jarang ngaskus sampe dapat salam dari momod ke email.
Pernah bertemu dengan seseorang untuk pertama kali lalu akrab begitu saja? Padahal kau adalah tipe orang yang merasa bodo amat pada orang-orang baru di sekitarmu. Aku pernah. Bahkan sampai sekarang, aku dan dia tidak menemukan benang merah dari keakraban kami yang aneh. Aneh? Tentu saja.
Dulu, entah siapa yang memulai sapa. Aku juga tidak ingat persis apa yang kami perbincangkan pada awal pertemuan. Mungkin sekadar say helloatau ‘ke mana kita akan pergi?’ Konyol? Ini lebih dari konyol.
Oktober 2015 adalah pertemuan pertama sekaligus momen pertama yang kukira masih jelas terpatri dalam ingatan hingga detik ini. Siapa sangka sebuah anggukan dariku menjadi awal pertemuan-pertemuan berikutnya, lalu mencipta kisah-kisah di mana kelak menjadi sesuatu yang berharga bagiku. Misalnya, lahirnya cerita ini.
“Ke mana?” Anggap saja begitu kalimat yang pertama kali keluar dari salah satu kami. Saat itu matahari sungguh menyengat. Aku yang sudah lama menantinya memutuskan membeli segelas kopi dingin sebagai pereda dahaga. “Terserah,” jawabku sembari menenggak minuman itu. “ Ke mana?” burunya lagi. “Hadeh. Yaudah, ayok.”
“Mau ke mana?” tanyanya setelah kami berada di dalam sebuah angkutan kota berwarna kuning.
“Belom tau.”
“Eh. Serius?”
“He’em.”
“Ar ….”
“Ya?”
“Ke mana?”
"Belom tau.”
“Hadeh. Nyesel aku ngajak kau.” Ucapnya malas sembari membuang muka ke arah jendela, menatap jalanan kota yang lenggang di hari libur seperti ini.
Aku mengamatinya dari bangku seberang. Di depanku, seseorang yang baru pertama kali kutemui tengah duduk memperhatikan jalanan yang kami lalui. Sebuah tas cokelat berukuran mini berada di pangkuannya, ditutupi oleh sebagian tangannya yang ditumpuk di atas tas itu. Senada dengan tasnya, ia memakai kemeja cokelat polkadot dipadankan jilbab segiempat cokelat polos yang dibentuk segitiga. Ah, ia benar-benar memperhatikan penampilannya.
“Pinggir, Pak.” Ucapku seketika setelah menyadari tempat yang kutuju hampir terlewati begitu saja.
“Mau ke mana?” Ia masih saja bertanya. Apa ia tidak bosan bertanya terus-menerus?
“Alun-alun,” jawabku malas.
“What the …”
“Kenapa?” tanyaku memutus kalimatnya.
“Ngapain ke alun-alun?”
“Janjalan.”
“Gila.”
“Kenapa?”
“Jauh jalannya. Capek.” Akhirnya ia mengeluh. Aku tertawa, tentu saja dalam hati.
“Becak, yok?” tawarnya kemudian.
“Ogah.” Ia mendengus sebal, sementara aku terus melangkah.
Hari itu adalah hari pertama kami bertemu dan menciptakan momen konyol. Konyol, sebab setelah sampai ke alun-alun hingga sore menjelang, tawa mendominasi di perjalanan itu. Entah apa yang kami tertawakan, tapi puncaknya adalah ketika makan. Sebenarnya makan adalah suatu hal yang lumrah dilakukan oleh orang-orang yang sedang bertemu, hanya saja kami melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan oleh orang-orang. Orang-orang tentunya akan makan di tempat di mana mereka melakukan perjalanan, di tempat di mana mereka menghabiskan pertemuan, tempat yang menjadi tujuan. Kami berbeda, sebab kami melakukannya di tempat asal. Ya, kami kembali ke kota awal untuk memenuhi perut yang sudah keroncongan sedari siang. Tentu saja setelah berdebat akan makan di mana.
Aku sebenarnya simpel saja. Cafe, rumah makan, atau pedagang kaki lima bukan menjadi alasan untuk menolak makan. Tetapi ketika jawaban terserah kutemui, maka itu adalah petaka. Petaka untukku, juga untuk dirinya sendiri.
“Bakso Mitra, mau?” tanyanya setelah kami menuju perjalanan pulang. Ya, aku memutuskan pulang setelah tidak mendapatkan tempat yang jelas akan makan di mana.
“Mitra?” tanyaku memastikan.
“Yaudah kalo gamau.” Ucapnya memutuskan.
Lalu di sinilah kami mengisi perut. Warung Bakso Mitra dengan pesanan dua porsi bakso spesial ditambah lemon tea dingin.
Perjalanan ini sebenarnya biasa saja. Tidak ada yang unik selain kami menjadi akrab meski pertama kali jumpa, juga tidak terlalu unik karena berpindah kota demi memenuhi perut yang sudah lapar. Tapi di sinilah awalnya, hingga keunikan-keunikan lainnya muncul satu persatu. Misalnya, kesamaan negara impian, hingga kesamaan waktu dalam *titt* (red: putus dari pasangan masing-masing). Padahal tentang ini, kami biasanya menjadikannya privasi. “Takdir Tuhan.” Yap, selalu itu kata yang keluar dari mulutnya setiap kali salah satu di antara kami terdiam, sebab menyadari ada kesamaan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Maapin yaw dah jarang ngaskus sampe dapat salam dari momod ke email.
Quote:
Perjalanan Pertama
Ar Tanjung
Ar Tanjung
Pernah bertemu dengan seseorang untuk pertama kali lalu akrab begitu saja? Padahal kau adalah tipe orang yang merasa bodo amat pada orang-orang baru di sekitarmu. Aku pernah. Bahkan sampai sekarang, aku dan dia tidak menemukan benang merah dari keakraban kami yang aneh. Aneh? Tentu saja.
Dulu, entah siapa yang memulai sapa. Aku juga tidak ingat persis apa yang kami perbincangkan pada awal pertemuan. Mungkin sekadar say helloatau ‘ke mana kita akan pergi?’ Konyol? Ini lebih dari konyol.
Oktober 2015 adalah pertemuan pertama sekaligus momen pertama yang kukira masih jelas terpatri dalam ingatan hingga detik ini. Siapa sangka sebuah anggukan dariku menjadi awal pertemuan-pertemuan berikutnya, lalu mencipta kisah-kisah di mana kelak menjadi sesuatu yang berharga bagiku. Misalnya, lahirnya cerita ini.
“Ke mana?” Anggap saja begitu kalimat yang pertama kali keluar dari salah satu kami. Saat itu matahari sungguh menyengat. Aku yang sudah lama menantinya memutuskan membeli segelas kopi dingin sebagai pereda dahaga. “Terserah,” jawabku sembari menenggak minuman itu. “ Ke mana?” burunya lagi. “Hadeh. Yaudah, ayok.”
***
“Mau ke mana?” tanyanya setelah kami berada di dalam sebuah angkutan kota berwarna kuning.
“Belom tau.”
“Eh. Serius?”
“He’em.”
“Ar ….”
“Ya?”
“Ke mana?”
"Belom tau.”
“Hadeh. Nyesel aku ngajak kau.” Ucapnya malas sembari membuang muka ke arah jendela, menatap jalanan kota yang lenggang di hari libur seperti ini.
Aku mengamatinya dari bangku seberang. Di depanku, seseorang yang baru pertama kali kutemui tengah duduk memperhatikan jalanan yang kami lalui. Sebuah tas cokelat berukuran mini berada di pangkuannya, ditutupi oleh sebagian tangannya yang ditumpuk di atas tas itu. Senada dengan tasnya, ia memakai kemeja cokelat polkadot dipadankan jilbab segiempat cokelat polos yang dibentuk segitiga. Ah, ia benar-benar memperhatikan penampilannya.
“Pinggir, Pak.” Ucapku seketika setelah menyadari tempat yang kutuju hampir terlewati begitu saja.
“Mau ke mana?” Ia masih saja bertanya. Apa ia tidak bosan bertanya terus-menerus?
“Alun-alun,” jawabku malas.
“What the …”
“Kenapa?” tanyaku memutus kalimatnya.
“Ngapain ke alun-alun?”
“Janjalan.”
“Gila.”
“Kenapa?”
“Jauh jalannya. Capek.” Akhirnya ia mengeluh. Aku tertawa, tentu saja dalam hati.
“Becak, yok?” tawarnya kemudian.
“Ogah.” Ia mendengus sebal, sementara aku terus melangkah.
Hari itu adalah hari pertama kami bertemu dan menciptakan momen konyol. Konyol, sebab setelah sampai ke alun-alun hingga sore menjelang, tawa mendominasi di perjalanan itu. Entah apa yang kami tertawakan, tapi puncaknya adalah ketika makan. Sebenarnya makan adalah suatu hal yang lumrah dilakukan oleh orang-orang yang sedang bertemu, hanya saja kami melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan oleh orang-orang. Orang-orang tentunya akan makan di tempat di mana mereka melakukan perjalanan, di tempat di mana mereka menghabiskan pertemuan, tempat yang menjadi tujuan. Kami berbeda, sebab kami melakukannya di tempat asal. Ya, kami kembali ke kota awal untuk memenuhi perut yang sudah keroncongan sedari siang. Tentu saja setelah berdebat akan makan di mana.
Aku sebenarnya simpel saja. Cafe, rumah makan, atau pedagang kaki lima bukan menjadi alasan untuk menolak makan. Tetapi ketika jawaban terserah kutemui, maka itu adalah petaka. Petaka untukku, juga untuk dirinya sendiri.
“Bakso Mitra, mau?” tanyanya setelah kami menuju perjalanan pulang. Ya, aku memutuskan pulang setelah tidak mendapatkan tempat yang jelas akan makan di mana.
“Mitra?” tanyaku memastikan.
“Yaudah kalo gamau.” Ucapnya memutuskan.
***
Lalu di sinilah kami mengisi perut. Warung Bakso Mitra dengan pesanan dua porsi bakso spesial ditambah lemon tea dingin.
Perjalanan ini sebenarnya biasa saja. Tidak ada yang unik selain kami menjadi akrab meski pertama kali jumpa, juga tidak terlalu unik karena berpindah kota demi memenuhi perut yang sudah lapar. Tapi di sinilah awalnya, hingga keunikan-keunikan lainnya muncul satu persatu. Misalnya, kesamaan negara impian, hingga kesamaan waktu dalam *titt* (red: putus dari pasangan masing-masing). Padahal tentang ini, kami biasanya menjadikannya privasi. “Takdir Tuhan.” Yap, selalu itu kata yang keluar dari mulutnya setiap kali salah satu di antara kami terdiam, sebab menyadari ada kesamaan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
See U babay.
anasabila dan Niscan memberi reputasi
2
593
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru