- Beranda
- Stories from the Heart
[B]Alasan[/B]
...
TS
annirobiah
[B]Alasan[/B]
Alasan
Ar Tanjung
Ar Tanjung
Quote:
“Gimana-gimana? Udah daftar SNMPTN?” kuhampiri seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang tengah memakai sepatu di pelataran masjid. Wajahnya teduh di sapu air wudu. Sekilas ia bingung menatapku. Seseorang yang tak ia kenali mengajaknya bicara.
“Siapa? Aku? Udah, kemarin.” Jawabnya sepatah-sepatah.
“Aku Resa,” ucapku sembari mengulurkan tangan.
“Eh, kakak? Udah lama di sini?” tanyanya kemudian. Ia langsung mengenali dari sebuah nama yang kuucapkan.
“Lumayan. Jadi, ngambil apa?”
“Hehe. Pendidikan Sastra Indonesia, Kak.” Jawabnya disertai tawa.
“Pendidikan, berarti bukan di tempat Kakak, dong.” Ucapku menerawang
“Iya, Kak. Unimed.”
“Lalu, pilihan lainnya?”
“Sastra Indonesia, Kak. Kayak Kakak.” Tersenyum ia menjawab pertanyaanku.
“Sastra Indonesia semua, ya?”
“Heheh. Cinta mati, Kak.”
***
Sastra Indonesia. Cinta mati. Ah, perempuan ini mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun lalu. Kala itu, Februari kalau tidak salah, aku mengambil keputusan terbesar selama delapan belas tahun hidup tanpa mau digugat. Menutup telinga rapat-rapat dari segala kemungkinan yang akan menggoyahkan keinginan. Menggeser Kota Jember menjadi Yogya, sudahlah cukup. Menggeser jurusan, aku tidak sudi.
Sastra Indonesia. Berkali-kali aku dipertanyakan. Dipertanyakan masih mampu memberi penjelasan, tapi digunjing. Ah, penjelasan tidak pernah cukup untuk orang-orang yang di pikirannya sudah melekat bahwa Sastra Indonesia adalah sesuatu yang tidak penting, mempelajarinya adalah kesia-siaan, sebab toh, untuk apalagi belajar Sastra Indonesia sementara diri merupakan Indonesia tulen.
Sastra Indonesia sebenarnya bukanlah satu-satunya pilihan. Jauh sebelumnya, aku pernah jatuh hati pada Biologi. Pernah juga merasa Fisika adalah teman terbaik. Tapi, keduanya memudar seiring bergantinya pengajar. Keinginan terhadap Biologi lambat laun menghilang semenjak lebih banyak menghabiskan jam pelajarannya di dalam Lab. Komputer. Hasrat pada Fisika ikutan lenyap sejak kenaikan kelas dan kepala sekolah tak lagi ambil bagian sebagai pengajar Fisika. Biologi dan Fisika menghilang, Sastra Indonesia mendekat selangkah.
Biologi dan Fisika adalah angan yang hilang, tapi tidak semua yang hilang ingin diraih kembali. Mungkin, sesekali aku merindu. Sesekali bening di mata muncul ketika menatap lamat-lamat sekolah yang telah mendidikku enam tahun lamanya. Sekolah yang kemudian mengantarkanku pada aku yang sekarang.
Rindu. Itu pula yang kerapkali mengayunkan langkah kaki ini kembali ke sini. Mereka mungkin berpikir, satu-satunya rindu milikku tertuju pada wanita yang meracuniku dengan kata-katanya, bahwa ia satu-satunya alasan aku berkunjung tak kenal kali. Siapa lagi kalau bukan Hermala Wati yang tertuduh.
Mungkin benar, setiap kunjungan yang tersimpan rindu, namanya selalu terselip. Tapi, itu bukan berarti menempatkan ia sebagai satu-satunya orang yang kurindu. Seringkali, aku kembali hanya untuk melihat-lihat, mengenang kisah yang usai bertahun lalu. Bukan hanya sekali pula menyengaja kembali ketika suasana di sekolah benar-benar sepi, entah karena libur atau memang hari yang sudah petang. Berkali, aku kembali hanya untuk membangkitkan ingatan, lalu menuangnya di kertas dalam bentuk kata-kata.
Kata-kata, mungkin ini yang menyebabkanku jatuh hati pada Sastra Indonesia. Hermala Wati salah satu sosok yang menyelusupkan kecintaan akan Sastra Indonesia melalui kata-kata. Entah bagaimana caranya, yang kutahu, ia memikat ketika berkata-kata. Bahkan dulu, bisikannya, satu-satunya bisikan yang kudapatkan dari seorang guru ketika perpisahan sekolah, hampir menghancurkan pertahanan, memporak-porandakan riasan tipis di wajah.
Kata-kata, mungkin ini yang menyebabkan Sastra Indonesia menjadi satu-satunya pilihan ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Jalur pertama, Sastra Indonesia tertera pada ketiga kolom pilihan. Jalur kedua, Psikologi menyelinap, Sastra Indonesia menetap. Keberadaan Psikologi juga bukan sembarang menempatkan, melainkan karena adanya keyakinan bahwa keduanya adalah dua hal yang dekat. Psikologi membutuhkan kata-kata untuk melakukan terapi terhadap pasien, meski telinga lebih utama untuk mendengar setiap keluhan. Sastra Indonesia membutuhkan Psikologi untuk menciptakan karakter dalam sebuah karya, di samping ide yang memang harus cemerlang.
***
“Kak, kelas dulu, ya. Bu Hera, masuk nih,” ucapnya pamit setelah selesai mengenakan sepatu hitam mengkilapnya.
“Titip salam sama ibu,” pesanku setengah teriak ketika ia mulai menjauh. Tak ada suara, hanya anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku tersenyum melihatnya tergesa-gesa menaiki anak tangga lalu menghilang di balik tembok kelas.
Ah, Bu Hera. Perempuan ini, Bu, di dalam dirinya kulihat aku yang dahulu berambisi pada Sastra Indonesia. Di dalam dirinya, kudapati aku berjuang atas ambisi yang Ibu tiupkan melalui kata-kata. Di dalam dirinya pula, kutemukan sebuah fakta bahwa kami adalah dua manusia yang pernah membencimu, namun kau pula menjadi alasan atas impian kami. Terima kasih, Bu, telah mengenalkan aku pada perempuan ini. Semoga semesta berpihak padanya, sebagaimana semesta berpihak padaku.
“Siapa? Aku? Udah, kemarin.” Jawabnya sepatah-sepatah.
“Aku Resa,” ucapku sembari mengulurkan tangan.
“Eh, kakak? Udah lama di sini?” tanyanya kemudian. Ia langsung mengenali dari sebuah nama yang kuucapkan.
“Lumayan. Jadi, ngambil apa?”
“Hehe. Pendidikan Sastra Indonesia, Kak.” Jawabnya disertai tawa.
“Pendidikan, berarti bukan di tempat Kakak, dong.” Ucapku menerawang
“Iya, Kak. Unimed.”
“Lalu, pilihan lainnya?”
“Sastra Indonesia, Kak. Kayak Kakak.” Tersenyum ia menjawab pertanyaanku.
“Sastra Indonesia semua, ya?”
“Heheh. Cinta mati, Kak.”
***
Sastra Indonesia. Cinta mati. Ah, perempuan ini mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun lalu. Kala itu, Februari kalau tidak salah, aku mengambil keputusan terbesar selama delapan belas tahun hidup tanpa mau digugat. Menutup telinga rapat-rapat dari segala kemungkinan yang akan menggoyahkan keinginan. Menggeser Kota Jember menjadi Yogya, sudahlah cukup. Menggeser jurusan, aku tidak sudi.
Sastra Indonesia. Berkali-kali aku dipertanyakan. Dipertanyakan masih mampu memberi penjelasan, tapi digunjing. Ah, penjelasan tidak pernah cukup untuk orang-orang yang di pikirannya sudah melekat bahwa Sastra Indonesia adalah sesuatu yang tidak penting, mempelajarinya adalah kesia-siaan, sebab toh, untuk apalagi belajar Sastra Indonesia sementara diri merupakan Indonesia tulen.
Sastra Indonesia sebenarnya bukanlah satu-satunya pilihan. Jauh sebelumnya, aku pernah jatuh hati pada Biologi. Pernah juga merasa Fisika adalah teman terbaik. Tapi, keduanya memudar seiring bergantinya pengajar. Keinginan terhadap Biologi lambat laun menghilang semenjak lebih banyak menghabiskan jam pelajarannya di dalam Lab. Komputer. Hasrat pada Fisika ikutan lenyap sejak kenaikan kelas dan kepala sekolah tak lagi ambil bagian sebagai pengajar Fisika. Biologi dan Fisika menghilang, Sastra Indonesia mendekat selangkah.
Biologi dan Fisika adalah angan yang hilang, tapi tidak semua yang hilang ingin diraih kembali. Mungkin, sesekali aku merindu. Sesekali bening di mata muncul ketika menatap lamat-lamat sekolah yang telah mendidikku enam tahun lamanya. Sekolah yang kemudian mengantarkanku pada aku yang sekarang.
Rindu. Itu pula yang kerapkali mengayunkan langkah kaki ini kembali ke sini. Mereka mungkin berpikir, satu-satunya rindu milikku tertuju pada wanita yang meracuniku dengan kata-katanya, bahwa ia satu-satunya alasan aku berkunjung tak kenal kali. Siapa lagi kalau bukan Hermala Wati yang tertuduh.
Mungkin benar, setiap kunjungan yang tersimpan rindu, namanya selalu terselip. Tapi, itu bukan berarti menempatkan ia sebagai satu-satunya orang yang kurindu. Seringkali, aku kembali hanya untuk melihat-lihat, mengenang kisah yang usai bertahun lalu. Bukan hanya sekali pula menyengaja kembali ketika suasana di sekolah benar-benar sepi, entah karena libur atau memang hari yang sudah petang. Berkali, aku kembali hanya untuk membangkitkan ingatan, lalu menuangnya di kertas dalam bentuk kata-kata.
Kata-kata, mungkin ini yang menyebabkanku jatuh hati pada Sastra Indonesia. Hermala Wati salah satu sosok yang menyelusupkan kecintaan akan Sastra Indonesia melalui kata-kata. Entah bagaimana caranya, yang kutahu, ia memikat ketika berkata-kata. Bahkan dulu, bisikannya, satu-satunya bisikan yang kudapatkan dari seorang guru ketika perpisahan sekolah, hampir menghancurkan pertahanan, memporak-porandakan riasan tipis di wajah.
Kata-kata, mungkin ini yang menyebabkan Sastra Indonesia menjadi satu-satunya pilihan ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Jalur pertama, Sastra Indonesia tertera pada ketiga kolom pilihan. Jalur kedua, Psikologi menyelinap, Sastra Indonesia menetap. Keberadaan Psikologi juga bukan sembarang menempatkan, melainkan karena adanya keyakinan bahwa keduanya adalah dua hal yang dekat. Psikologi membutuhkan kata-kata untuk melakukan terapi terhadap pasien, meski telinga lebih utama untuk mendengar setiap keluhan. Sastra Indonesia membutuhkan Psikologi untuk menciptakan karakter dalam sebuah karya, di samping ide yang memang harus cemerlang.
***
“Kak, kelas dulu, ya. Bu Hera, masuk nih,” ucapnya pamit setelah selesai mengenakan sepatu hitam mengkilapnya.
“Titip salam sama ibu,” pesanku setengah teriak ketika ia mulai menjauh. Tak ada suara, hanya anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku tersenyum melihatnya tergesa-gesa menaiki anak tangga lalu menghilang di balik tembok kelas.
Ah, Bu Hera. Perempuan ini, Bu, di dalam dirinya kulihat aku yang dahulu berambisi pada Sastra Indonesia. Di dalam dirinya, kudapati aku berjuang atas ambisi yang Ibu tiupkan melalui kata-kata. Di dalam dirinya pula, kutemukan sebuah fakta bahwa kami adalah dua manusia yang pernah membencimu, namun kau pula menjadi alasan atas impian kami. Terima kasih, Bu, telah mengenalkan aku pada perempuan ini. Semoga semesta berpihak padanya, sebagaimana semesta berpihak padaku.
Diubah oleh annirobiah 31-01-2020 12:34
0
429
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru