ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #53 : Sesuatu di Dalam Gelap


Aku penasaran kenapa manusia takut gelap.
Sejak kecil aku paling takut kalau sedang sendirian di dalam gelap. Saat hendak ke toilet atau saat mencoba tidur dengan lampu dipadamkan aku selalu merasa ada yang mengawasiku. Di dalam gelap, di tempat aku tak bisa melihat apa-apa, dia menatapku dari sana.

Kira-kira apa yang dia inginkan dariku? Apa dia punya maksud jahat? Kecemasan-kecemasan seperti itu semakin berkurang seiring aku dewasa, tetapi di dalam diriku tetap ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Kegelapan itu … menakutkan.

Sebagian besar hewan memilih tidur saat malam, sebagian besar orang tidak pergi ke tempat yang gelap, hampir semua cerita horor selalu berhubungan dengan gelap. Manusia tidak bisa melihat dalam gelap, karena itulah kita menghindarinya. Namun apakah wajar jika sampai merasa takut?

Dengan adanya listrik kegelapan semakin memudar meski di malam hari, tetapi satu hal yang paling kuingat saat kecil adalah diriku yang lari keluar rumah karena tiba-tiba semua lampu di rumah mati. Betapa cepat kegelapan itu merebak. Rasanya seperti seluruh kehangatan direnggut dari dunia.

“Gimana rasanya jadi buta? Ya … nggak bisa melihat.”

Saat Sd aku kebetulan bertemu dengan seorang penderita tunanetra. Aku penasaran seperti apa dia melihat hidup. Segala hal pasti tak ada bedanya dengan kegelapan.

“Kalau kau nggak bisa melihat … tapi kau tahu kan ada sesuatu di sana?”

“Hmm? Ya iyalah. Kau di situ kan? Aku masih bisa dengar lo.”

“Bukan begitu. Maksudku ….”

Dia tak bisa melihat. Semuanya gelap. Dia tahu ada sesuatu di sana. Tapi dia tidak takut. Kira-kira kenapa orang buta tidak takut gelap padahal sama sekali tak ada cahaya yang bisa mengusir kegelapan bagi mereka?

“Kau takut gelap?” tanya Ayah begitu aku menceritakan kenapa aku tak mau tidur dengan lampu dimatikan. “Tapi kalau kau tutup mata semua jadi gelap, kan?”

“Iya sih, tapi kan aku tahu kalau di luar sana terang.”

“Terus memangnya kenapa kalau gelap?”

“Aku … takut ada orang.”

Sendirian dalam gelap memang menakutkan, tapi bagaimana kalau aku tidak sendirian? Bagaimana kalau ada orang lain yang bersembunyi di balik bayang dan menunggu hingga aku lengah? Mungkin dia ada di dalam lemari, di bawah klong kasur, atau bahkan berdiri di belakangku saat aku meringkuk.

“Gawat,” bisik Ayah prihatin. “Ini gawat. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang takut gelap. Kalau kau gini terus nanti Ayah nggak bisa dapat cucu dong.”

“Kenapa malah bahas cucu?”

“Udah, nggak penting. sekarang kamu ikut Ayah. Kita les privat dadakan.”

Meski sudah mengantuk aku pun ditarik keluar kamar. Dengan enggan aku pun mengikuti ayah menaiki tangga dan akhirnya memasuki loteng. Loteng ini sudah jadi gudang penyimpanan barang-barang tak terpakai yang kebanyakan terlapisi debu setebal lima senti. Satu-satunya penerangan hanyalah bohlam kuning remang-remang yang tampaknya bisa pecah kapan saja.

“Ngapain kita di sini, Yah? … Ayah?”

Saat aku berbalik ternyata Ayah sudah keluar dan mengunci pintu loteng rapat-rapat. Sontak aku panik dan mencoba membuka pintu dari dalam. Percuma. Kok bisa loteng tua ini punya kunci yang sangat kuat.

“Malam ini kau tidur di situ,” seru Ayah dari balik pintu. “Hati-hati, dulu ada yang gantung diri di sini.”

Di saat itu juga lampu dimatikan dan kegelapan dengan cepat menguasai. Organ-organ tubuhku langsung berteriak dan bersembunyi, membuat sekujur tubuhku dingin gemetaran. Gelap, dingin, ada seseorang di sana!

Dengan tangan gemetar tak karuan aku meraba sekitar untuk memastikan tak ada apa pun di sekitarku sehingga aku bisa duduk. Di saat mata tak lagi berguna, aku baru menyadari indra peraba adalah sebuah anugrah. Kegelapan ini begitu sunyi. Hanya napasku yang terdengar.

Menutup dan membuka mata sama sekali tidak ada bedanya. Aku tahu aku harus tidur dan membiarkan semua ini lewat begitu saja, tapi rasa takut seolah memakan rasa kantuk itu. Di ruangan yang luas nan gelap ini, apakah aku sendirian?

Tanpa cahaya dan tanpa suara, aku merasa semakin gila setiap detiknya. Semakin lama aku berada di sini aku semakin yakin sudah bisa melihat kilasan-kilasan dan juga suara-suara tipis yang entah berasal dari apa. Tikus? Semoga saja betul.

“Psst!”

Suara itu seperti sambaran petir yang menusuk tajam. Tikus kan? Itu tikus kan?!

“Haiiiii!”

Aku yakin kesadaranku lenyap untuk sesaat. Ada seseorang … ada sesuatu di dalam gelap seperti yang selalu aku takutkan. Namun kali ini kegelapan itu berbicara padaku.

“Jangan takut, aku tak akan melakukan apa-apa padamu. Kalau sesuatu terjadi padamu nanti siapa lagi yang bisa kutakut-takuti?”

“Siapa? Siapa kau?!”

“Aku adalah kau. Makanya kita tak bisa berpisah.”

Aku adalah kau? Apa dia ini bayanganku? Tidak, bayanganku tak pernah membuatku takut.

“Mau apa kau? Tolong jangan sakiti aku!”

“Sudah kubilang aku tak akan melakukan apa-apa. Hanya karena aku kegelapan bukan berarti aku akan memakanmu. Aku bisa sangat dekat, tapi tak akan bisa menyentuhmu.”

Mendengar itu membuatku jauh lebih tenang. Entah mengapa aku percaya padanya. Dia … tidak terdengar seperti orang jahat.

“Kau tidak mengantuk, Anak Muda? Kegelapan tak akan terasa jika kau tertidur.”

“Aku … tidak mengantuk.”

Rasa takut sudah mengusir semua kantuk itu. Meski perlahan ketakutanku berkurang, rasa kantuk masih enggan untuk kembali.

“Hei … Nona Gelap. Apa kau manusia?”

“Nona Gelap? Belum pernah ada yang memanggilku seperti itu.”

“Ah maaf. Aku tak tahu harus memanggilmu apa.”

“Oh tak apa. Nona Gelap terdengar imut. Sayangnya aku bukan manusia. Aku lebih dari itu, tapi juga kurang dari itu. Tak ada standar yang bisa mengukurku, hanya kau yang bisa menentukan.”

Ucapannya terdengar seperti teka-teki yang rumit. Aku benci teka-teki.

“Kalau kau bukan manusia lalu untuk apa kau ada?”

“Banyak hal tercipta bukan karena maksud tertentu, tapi akibat dari sesuatu. Jika tidak ada gelap, maka tak ada yang bisa disebut cahaya kan?”

Kegelapan terjadi karena tak adanya cahaya. Layaknya dua sisi koin, cahaya dan kegelapan memang selalu beriringan. Bedanya, yang satu menyenangkan dan yang satu menakutkan. Hal yang paling menakutkan dari kegelapan adalah … kau tak bisa bersembunyi darinya.

Kegelapan akan selalu menggantikan cahaya, tapi tak ada yang bisa menjamin kapan cahaya akan datang kembali. Awan mendung, pemadaman listrik, hingga angin kencang yang memadamkan api, selalu ada cara untuk mencegah cahaya datang. Meski cahaya adalah harapan, tapi kegelapan adalah mutlak.

“Kau terdiam, Anak Muda. Sudah tertidur?”

“Belum,” aku menggeleng meski dia tak bisa melihatku. Atau bisakah dia?

“Tak ada bedanya kalau kau menutup atau membuka mata. Bukankah alam tidur sama gelapnya jika tak ada mimpi? Kalau aku jadi kau aku akan lebih takut pada tidur dibanding gelap.”

“Itu … ada benarnya.”

“Tapi semua manusia perlu tidur kan? Mungkin kau tidak takut tertidur karena itu memang harus terjadi, tapi gelap juga pasti akan datang. Matahari akan terbenam, lampu akan padam, manusia akan tertidur, itu sudah mutlak terjadi.”

“Kau banyak bicara, Nona Gelap.”

“Oh ya. Gelap memang identik dengan kesepian. Entah kapan kita bisa bicara lagi jadi aku terus saja bicara.”

Nona Gelap pun terdiam. Mungkin dia mengharapkan balasan dariku. Wajar saja kegelapan merasa kesepian. Orang-orang terus melarikan diri darinya.

“Aku mengantuk,” bisikku kemudian. “Saat aku bangun matahari akan terbit. Kau tidak terdengar jahat, Nona Gelap, tapi kau harus pergi. Pasti ada tempat lain yang membutuhkan gelap.”

“Hmm … jadi sampai akhir kau tetap takut gelap?”

“Kurasa iya, tapi aku suka kau. Mungkin besok aku akan mematikan lampu kamar sebelum tidur dan berharap kau datang lagi.”

“Itu permintaan yang berat, Anak Muda. Tapi tak apa, aku adalah kau, aku selalu ada di dekatmu tak peduli di mana pun itu. Sampai kita bertemu lagi.”

Aku tak yakin apakah semua itu cuma mimpi atau bukan. Aku tertidur dan terbangun tanpa menceritakan kejadian itu pada siapa pun.

Butuh satu bulan sampai akhirnya aku sadar sosok Nona Gelap yang bicara padaku adalah ibuku sendiri. Ternyata mereka bersekongkol untuk membuatku tak lagi takut gelap. Anehnya cara itu berhasil. Aku berhenti bertanya-tanya apa yang ada di dalam gelap, aku malah sibuk merasakan seperti apa hidup dalam gelap.

Dingin dan sepi, perasaan yang kudapat dari kegelapan tidaklah berubah. Meski demikian tumbuh perasaan baru yang mengharapkan datangnya cahaya, sebuah harapan. Aku merasa lebih optimis memandang hidup. Meski beberapa hal pasti akan terjadi, bukan berarti itu akan berlangsung selamanya.

Cahaya akan kembali bersinar. Dan mungkin, suatu saat Nona Gelap akan menemuiku lagi.

***TAMAT***
bonek.kamarAvatar border
primawidhieAvatar border
zeze6986Avatar border
zeze6986 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
910
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.