ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #60 : Diriku di Masa Depan


Saat membuka-buka buku lama peninggalan Kakek aku tanpa sengaja menemukan mantra yang bisa membawaku ke masa depan. Aku tak percaya dengan yang seperti itu, tapi saat aku membacanya kamarku langsung berputar. Sejenak kukira ini cuma halusinasi, tapi tak lama kemudian semua berhenti dan aku menemukan diriku berada di kamar yang sama sekali asing.

Apakah ini masa depan? Tak ada kalender, tapi ada banyak sekali barang-barang elektronik yang tak kukenal. Holy shit! Aku sungguh-sungguh ada di masa depan!

Apa yang ada di luar jendela adalah gedung-gedung tinggi yang jelas tak ada di masa lalu. Tinggi, mengkilap, serta benda-benda aneh yang terbang mengelilinginya. Rasanya seperti menonton film dengan setting seratus tahun di masa depan. Aku tak tahu ini tahun berapa, tapi apa mungkin manusia sungguh-sungguh mencapai ini?

Ngomong-ngomong, di manakah diriku sekarang? Apa aku masih hidup? Akan luar biasa jika aku bisa bertemu diriku di masa depan.

Tapi di manakah aku? Apakah aku pemilik dari salah satu gedung tinggi itu?

Aku baru sadar kalau kamar yang kutempati terlihat sangat … jadul. Dibandingkan semua barang berkilau di luar kamar ini seperti terbuat dari kayu lapuk yang bisa rubuh kapan saja. Tampaknya di masa depan pun ketimpangan sosial masih jadi masalah serius. Orang yang tinggal di sini pastilah orang miskin.

Aku mulai berkeliling dan melihat-lihat. Dari salah satu tagihan belanja yang berserakan di lantai tampaknya aku berada 30 tahun di masa depan. Berarti umurku saat ini adalah 38 tahun. Anakku pasti sudah besar sekarang.

Namun semakin aku melihat-lihat semakin aku merasa resah. Barang-barang ini … rasanya familiar. Aku memang tak mengenali satu barang pun, tapi gaya dan selera dari orang yang memiliki barang-barang ini sungguh mirip denganku.
Ahh, tidak mungkin.

Akhirnya aku pun menemukan selembar kertas yang tampak resmi di atas lemari. Bibirku bergetar saat membacanya.

“Permohonan bansos … Anji Dion?”

Itu … adalah namaku.

Ada banyak cita-cita yang ingin kuraih saat sudah dewasa. Menjadi Kamen Rider, menjadi pemain bola terkenal, menjadi gitaris band level dunia, atau artis yang setiap hari muncul di TV. Memang tak realistis untuk mencapai itu semua, tapi intinya sebenarnya satu: aku ingin jadi orang kaya.

Punya rumah mewah, puluhan mobil, lima istri, lima puluh simpanan, dan makan enak setiap hari. Tak perlu bekerja dan bisa bersantai di pinggir pantai sambil menikmati indahnya hidup. Itulah masa depan yang aku inginkan.

Tapi kenapa semua jadi begini? Apa saja yang sudah kulakukan selama 30 tahun sampai berakhir sebagai penerima bansos?
Di tengah keheningan di dalam kepala, aku mendengar langkah kaki mendekat dan saat pintu terbuka aku melihat wajah menyedihkan yang membuat amarah dan ketakutan menguasai diriku.

“Kau … ohh, aku rupanya.”

Suaranya lemah. Mungkin dia belum makan. Tubuhnya kurus dan tidak terlihat terawat. Sekali lihat saja aku tahu diriku di masa depan sudah gagal sebagai orang. Bukannya merasa kasihan, emosiku memuncak penuh kebencian.

“Kau ngapain aja sih?!”

Pertanyaan itu keluar dari mulutku sebelum dia bisa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat diriku di masa depan tidak memberikan kebanggaan sedikit pun. Hanya rasa malu.

“Kau tiap hari malas-malasan atau gimana sih?! Masa kau tinggal di tempat kayak gini? Lihat mukamu! Mana mungkin ada cewek mau nikah sama cowok kayak kau. Kau kan lahir bukan dari keluarga miskin, kok bisa hidupmu separah ini?! Puas malas-malasan? Cari kerja sana! Jangan berani kau malu-maluin aku!”

Aku bisa melihat wajahnya yang amat menyedihan tampak seperti akan menangis, tapi aku tidak peduli. Entah mengapa aku ingin menyakitinya dengan kata-kata sebanyak mungkin. Jika aku berakhir seperti dirinya dalam 30 tahun, lebih baik aku bunuh diri.

Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu, tetapi entah kenapa aku tak bisa mendengar apa-apa. Kesadaranku buyar dan menggelap. Hal berikutnya yang kuingat adalah terbangun di kamar tidurku di masa lalu. Apa semua itu cuma mimpi?

Aku mencoba membaca kembali mantra di buku Kakek, tapi tak ada apa pun yang terjadi. Mungkin semua itu memang cuma mimpi, tapi membayangkannya tetap membuatku takut. Apakah aku benar-benar akan berakhir seperti itu?

Di saat itulah aku memutuskan untuk melakukan hal terbaik yang kubisa di dalam hidup. Aku belajar dengan giat dan mulai menyusun rencana untuk 30 tahun ke depan. Aku tak ingin menunda-nunda hingga lulus kuliah untuk mendapat kerja. Aku ingin menghasilkan uang di umur semuda mungkin seperti kisah orang-orang kaya yang sering kubaca di majalah.

Karena aku tak pandai belajar aku memilih fokus pada olahraga. Aku suka berlari. Aku pernah menjadi juara lomba lari antar sekolah. Aku pun mulai mengikuti setiap lomba yang ada dan terus mengasah kakiku.

Hasil dari berlari keras setiap hari membuahkan hasil. Saat Sma aku berhasil menjadi perwakilan provinsi untuk kompetensi nasional. Meski tak pernah menjadi juara tapi bakatku dilirik oleh beberapa pelatih untuk bergabung dalam pelatihan olimpiade. Semua berjalan dengan mulus.

Namun pada kompetisi final di tahun ketiga, aku terjatuh. Cedera yang kuperoleh membuat lariku tak lagi secepat dulu. Setelah mengetahui fakta itu semua tawaran pun menghilang. Masa depan cerah itu lenyap seperti pemadaman listrik yang tak pernah bisa diduga.

Aku pun lulus Sma dengan nilai yang tak bisa dibilang bagus. Aku sama sekali tak mempersiapkan diri untuk mendaftar kuliah sehingga dua kaki yang tak lagi secepat dulu ini harus melangkah putus asa mencari kerja. Tak mengejutkan, yang bisa kudapatkan hanyalah pekerjaan-pekerjaan rendah.

Aku bertanya-tanya, inikah hasil kerja kerasku? Apakah aku harus puas dengan kejayaan di masa Sma?

Mimpi mengerikan itu pun terputar kembali.

“Aku tak mau berakhir seperti itu,” aku bersumpah pada diriku sendiri. “Aku pasti akan sukses.”

Meski hanya pekerjaan kasar aku tetap melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sedikit demi sedikit aku menabung uang sambil menunggu kesempatan datang. Aku menahan diri pada seluruh kenikmatan duniawi. Tak berfoya-foya dan tak menikah, semua itu hanya akan menghambat ambisiku.

Akhirnya kesempatan datang saat seorang teman Sma ku menawari investasi di perusahaan asing. Perusahaan ini fokus pada teknologi yang bisa membuat benda melayang tinggi. Sekejap saja aku teringat pada mimpi masa depan yang kulihat saat kecil. Di sana ada banyak benda-benda aneh terbang di langit. Mungkin itu adalah sebuah pertanda.

Akhirnya aku pun setuju dengan tawaran itu. Data-data terlihat sangat menjanjikan. Jika perusahaan ini sukses merubah dunia maka kekayaan itu akan datang dengan sendirinya pada mereka yang mau bertaruh paling awal. Di sinilah aku mempertaruhkan segalanya.

Dan aku memenangkan pertaruhan itu. Layaknya Google dan Microsoft, perusahaan itu sukses menjadi salah satu perusahaan paling berpengaruh di dunia. Dana modal yang awalnya cuma puluhan juta sukses menjadi raksasa ribuan trilliun. Apa yang aku prediksi benar-benar menjadi nyata.

Namun aku tak mendapatkan apa-apa.

Mengapa?

Karena temanku kabur dengan semua uang yang harusnya kami investasikan.

***


Tahun demi tahun terlewat dengan diriku yang hanya bisa melihat perusahaan itu tumbuh semakin dan semakin besar tanpa sedikit pun uangku di dalamnya. Apa yang tersisa hanyalah seorang pria tua yang tak punya keahlian apa-apa, tak punya uang, tinggal di rumah reyot, dan terlalu tua untuk menikah.

Tak ada lagi semangat dan rasa optimis yang tersisa. Setiap hari hanya diisi penyesalan dan air mata. Tiap kali aku melihat gedung tinggi pencakar langit itu perasaan untuk mengakhiri hidup menjadi semakin kuat. Dengan orangtuaku yang sudah meninggal dan tak ada teman maupun keluarga yang mau mendengar keluhanku, godaan mengakhiri hidup terus membesar.

Apalagi artinya hidup? Meski sudah berusaha keras tapi hidup terus mempermainkanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Tak ada lagi yang kunantikan dalam hidup ini.

Aku serius ingin bunuh diri. Aku mencari tali dan bersiap untuk gantung diri di kamar kos. Namun, dia muncul.

“Kau … ohh, aku rupanya.”

Diriku dari 30 tahun yang lalu. Diriku yang datang ke masa depan. Semua yang kukira hanya mimpi ternyata sungguh-sungguh terjadi.

“Kau ngapain aja sih?!”

Tak sempat aku mengatakan apa pun suaranya yang penuh kejijikan menusukku tanpa ampun. Apa dulu aku benar-benar mengatakan itu? Apakah diriku saat ini benar-benar memalukan sampai-sampai membuat diriku di masa lalu mengutukku seperti itu?

“Kau tiap hari malas-malasan atau gimana sih?! Masa kau tinggal di tempat kayak gini? Lihat mukamu! Mana mungkin ada cewek mau nikah sama cowok kayak kau. Kau kan lahir bukan dari keluarga miskin, kok bisa hidupmu separah ini?! Puas malas-malasan? Cari kerja sana! Jangan berani kau malu-maluin aku!”

Ahh … andai dia tahu. Andai dia tahu bahwa kerja keras saja tak cukup. Meski sudah bekerja keras, dunia bisa menghancurkanmu begitu saja tanpa siapa pun peduli. Tak peduli sebagus dan sesempurna apa rencana yang kau susun sejak kecil, dunia hanya perlu menjentikkan jari untuk menghancurkannya.

“Maafkan aku.”

Cuma itu yang bisa kukatakan padanya sebelum dia menghilang, kembali ke masa lalu. Maaf karena tak sanggup memenuhi ekspektasimu. Maaf karena sudah gagal menjadi manusia. Aku yang sekarang benar-benar menyedihkan sampai-sampai aku pun tak berani melihat wajahku sendiri.

Dibandingkan dengan diriku 30 tahun yang lalu, wajahnya sungguh cerah. Hatinya membara, matanya bersinar. Dalam 30 tahun semua itu akan menghilang dan yang tersisa hanyalah manusia tua yang tak lagi sanggup menghadapi dunia.

Aku menatap keluar jendela, melihat bangunan tinggi yang seharusnya menjadi milikku. Betapa kecilnya manusia di hadapan bangunan itu. Betapa tidak berartinya impian seorang anak 8 tahun di hadapan kekuatan besar yang membawa keputusasaan bagi semua orang.

Tanpa sadar air mataku sudah membasahi lantai. Melihat diriku di masa lalu membuatku menyadari apa yang sudah hilang dalam diriku. Andai aku masih memiliki sedikit saja semangat itu, mungkin hidupku tidak perlu berakhir.

Aku berdiri di sana lama sekali dengan tali tambang masih di tangan. Kini aku sudah 38 tahun. Lebih dari setengah hidupku sudah terlewati. Impian untuk hidup kaya raya tampak seperti angan-angan sekarang. Namun, mengapa hidupku menjadi lebih buruk dibanding saat aku masih kecil? Mengapa hidupku tak bisa seperti itu lagi? Tak perlu segunung harta, sedikit saja cukup.

“Cari kerja sana!”

Aku menyentuh wajahku dan sadar sudah lama aku tidak bercukur. Mungkin … mungkin tak ada salahnya untuk berusaha satu kali lagi. Memang apa lagi yang bisa hilang dariku? Bahkan meski aku kehilangan nyawa, setidaknya aku mati dalam perjuangan. Bukan mati dalam penderitaan.

Ohh diriku di masa lalu. Tiga puluh tahun lagi kau akan mengerti. Namun, kau adalah aku dan kau juga akan merasakan sedikit api perjuangan kembali tumbuh di tubuh tua ini.

Terima kasih, diriku. Tiga puluh tahun adalah waktu yang lama untuk menderita. Tapi mari kita tantang penderitaan itu sedikit lebih lama.

***TAMAT***
spaghettimiAvatar border
kelomangdaratAvatar border
YoayoayoAvatar border
Yoayoayo dan 10 lainnya memberi reputasi
11
682
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.